Ideanews.co, Berau – Kasus dugaan intimidasi terhadap Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Berau, Indera Teguh Nurcahyadi, memiliki beberapa aspek hukum yang perlu dikaji.
Peristiwa ini tidak hanya berkaitan dengan kebebasan pers tetapi juga melibatkan pelanggaran pidana terkait intimidasi dan penerobosan pekarangan rumah tanpa izin.
1. Kebebasan Pers dalam Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara jelas melindungi kebebasan pers di Indonesia. Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Selain itu, Pasal 4 ayat (2) menegaskan bahwa “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
Jika intimidasi terhadap Indera Teguh Nurcahyadi berkaitan dengan pemberitaan tambang ilegal, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya menghalangi kerja jurnalistik. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers, yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Dengan demikian, pihak yang melakukan intimidasi berpotensi dijerat dengan pasal ini apabila terbukti tujuannya adalah untuk menghambat kebebasan pers.
2. Intimidasi sebagai Ancaman Pidana
Intimidasi yang dilakukan oleh sekelompok pemuda terhadap Indera Teguh Nurcahyadi juga dapat dikaji dalam konteks tindak pidana umum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan yang menimbulkan ketakutan atau ancaman bagi seseorang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Pasal 335 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa:
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau perbuatan tidak menyenangkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jika terbukti bahwa aksi tersebut dilakukan untuk menekan atau mengancam Indera Teguh Nurcahyadi agar tidak melanjutkan pemberitaannya, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal ini.
3. Penerobosan Pekarangan Rumah Tanpa Izin
Selain intimidasi, tindakan delapan orang pemuda yang memasuki pekarangan rumah tanpa izin dapat dikenai sanksi hukum berdasarkan KUHP.
Pasal 167 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum masuk ke dalam rumah atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, atau berada di tempat itu dengan tidak mendapat izin dari yang berhak atau yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dalam kasus ini, laporan yang diajukan ke kepolisian disertai dengan bukti rekaman CCTV dan keterangan saksi mata, yang dapat memperkuat dugaan tindak pidana penerobosan pekarangan tanpa izin. Jika terbukti, para pelaku bisa dijerat dengan pasal ini.
Kesimpulan
Kasus yang menimpa Indera Teguh Nurcahyadi bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga berkaitan dengan kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang. Jika terbukti bahwa intimidasi ini bertujuan untuk menghalangi pemberitaan terkait tambang ilegal, maka tindakan tersebut melanggar UU Pers dan berpotensi dikenakan sanksi pidana.
Selain itu, dari aspek hukum pidana, tindakan intimidasi dan penerobosan pekarangan rumah tanpa izin juga memiliki konsekuensi hukum yang jelas dalam KUHP. Oleh karena itu, aparat penegak hukum diharapkan dapat menindaklanjuti kasus ini secara profesional agar prinsip kebebasan pers tetap terlindungi dan tidak ada pihak yang merasa terintimidasi dalam menjalankan tugas jurnalistik. (Tim Redaksi)