Kekerasan oleh Oknum TNI Kembali Terjadi, Imparsial : Revisi UU TNI Tak Efektif

Direktur Imparsial, Ardi Manti Adiputra. (Ist)

Ideanews.co, Jakarta, 18 Maret 2025 – Dua insiden penembakan yang melibatkan oknum anggota TNI kembali terjadi pada 17 Maret 2025, menambah daftar panjang kekerasan bersenjata oleh prajurit militer di luar tugas resmi mereka.

Di Lhokseumawe, Aceh Utara, seorang prajurit TNI AL berpangkat Kelasi Dua berinisial DI menembak mati Hasfiani alias Imam, seorang sales mobil yang juga bekerja sebagai perawat di Puskesmas Babah Buloh. Sementara itu, di Way Kanan, Lampung, tiga anggota kepolisian tewas setelah ditembak saat melakukan penggerebekan arena judi sabung ayam yang diduga dimiliki oleh seorang oknum TNI. Korban yang tewas adalah Kapolsek Negara Batin IPTU Lusiyanto, serta dua anggota lainnya, Bripka Petrus dan Bripda Ghalib, yang mengalami luka tembak di kepala.

Menanggapi peristiwa ini, lembaga pemantau hak asasi manusia, Imparsial, menegaskan bahwa insiden kekerasan bersenjata oleh anggota TNI tidak bisa dibiarkan terus terjadi tanpa pertanggungjawaban hukum yang tegas.

Maraknya Kekerasan oleh Oknum TNI

Imparsial mencatat bahwa kasus penembakan oleh anggota TNI yang menargetkan warga sipil dan aparat kepolisian bukanlah yang pertama kali terjadi. Sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025, telah terjadi sedikitnya 10 kasus penembakan oleh anggota TNI, yang mengakibatkan delapan warga sipil tewas dan 12 lainnya mengalami luka parah.

Selain itu, mereka juga mencatat 41 kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI dalam periode yang sama, dengan total korban mencapai 67 orang, termasuk 17 korban yang meninggal dunia. Bentuk kekerasan ini mencakup pemukulan, penganiayaan berat, hingga penembakan sewenang-wenang yang menyebabkan kematian.

Menurut Imparsial, salah satu penyebab utama maraknya kasus kekerasan oleh anggota TNI adalah ketiadaan tindakan tegas dan transparan dalam mengadili para pelaku. Selama ini, prajurit yang melakukan tindak pidana umum selalu diproses melalui peradilan militer, yang dinilai cenderung memberikan hukuman ringan dan tidak menimbulkan efek jera.

Desakan Reformasi Peradilan Militer

Imparsial menegaskan bahwa peradilan militer tidak boleh menjadi sarana impunitas bagi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum. Oleh karena itu, mereka mendesak agar anggota TNI yang melakukan kejahatan di luar tugas militer diproses melalui peradilan umum, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI serta TAP MPR No. VII Tahun 2000.

Namun, hingga saat ini, pemerintah justru enggan merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang masih memberikan kewenangan besar bagi pengadilan militer dalam menangani kasus pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI. Imparsial juga mengkritik rencana pemerintah untuk memperkuat peran peradilan militer melalui perubahan Pasal 65 ayat (2) UU TNI, yang justru bertentangan dengan semangat reformasi TNI.

“Seharusnya, peradilan militer hanya menangani kasus-kasus pelanggaran hukum militer, bukan kejahatan umum. Jika tidak ada reformasi dalam sistem peradilan ini, kasus kekerasan oleh oknum TNI akan terus terjadi tanpa ada kejelasan hukum yang transparan dan adil,” tegas Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra.

Pentingnya Pengawasan dan Evaluasi Total terhadap TNI

Selain mendorong reformasi peradilan militer, Imparsial juga meminta agar pemerintah dan DPR melakukan evaluasi menyeluruh terhadap institusi TNI serta memperkuat sistem pengawasan, baik secara internal maupun eksternal.

Menurut Imparsial, alih-alih memperluas kewenangan TNI melalui revisi UU TNI, pemerintah dan DPR seharusnya lebih fokus pada pengawasan dan transparansi dalam proses hukum di tubuh militer. Mereka juga menekankan bahwa revisi UU TNI harus mencakup perubahan pada Pasal 74, yang selama ini menghambat reformasi peradilan militer dan memperpanjang impunitas bagi prajurit yang melakukan tindak pidana umum.

Dengan semakin maraknya kasus kekerasan dan penyalahgunaan senjata api oleh anggota TNI, Imparsial menilai bahwa agenda reformasi militer menjadi semakin mendesak untuk memastikan supremasi hukum, transparansi, serta akuntabilitas dalam penegakan hukum di Indonesia. (Tim Redaksi)

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *