Ideanews.co – Dari tambang hingga sawit, dari kota hingga hutan, politik agraria Kalimantan Timur mencerminkan wajah sejati pembangunan Indonesia: sebuah perjuangan panjang antara mereka yang berkuasa dan mereka yang berusaha bertahan di tanahnya sendiri.
Kalimantan Timur kini berada di tengah arus perubahan besar. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) menjanjikan kemajuan dan lapangan kerja, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari pembangunan ini? Di tengah derasnya investasi, masyarakat adat dan petani lokal masih bergulat dengan persoalan klasik ketidak pastian hak atas tanah dan tumpang tindih izin usaha.
Politik agraria di Kalimantan Timur memang pelik. Sebagian besar daratan telah dikuasai oleh izin konsesi industri ekstraktif seperti tambang batu bara, kehutanan, dan perkebunan sawit. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim menunjukkan bahwa konflik agraria masih marak di berbagai daerah. Di Kampung Tri Pariq Makmur, misalnya, PT Setia Agro Abadi (PT SAA) diduga menguasai lahan warga di luar izin HGU, dengan tumpang tindih lahan mencapai lebih dari 6.100 hektare. Lima kampung lain mengalami potensi konflik serupa dengan total hampir 20.000 hektare.
Ironisnya, di tengah luasnya daratan, sektor pertanian rakyat justru kian melemah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, kontribusi pertanian tanaman pangan dan hortikultura terhadap PDRB provinsi hanya sekitar 0,5 persen. Luas panen padi di sejumlah kabupaten seperti Paser, Kutai Kartanegara, dan Penajam Paser Utara terus menurun dalam dua tahun terakhir. Ruang hidup petani semakin terdesak, sementara keuntungan besar mengalir ke korporasi.
Pembangunan IKN dan gelombang investasi besar seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang politik agraria. Negara perlu memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak masyarakat lokal. Reformasi agraria tidak boleh berhenti pada sekadar sertifikasi tanah; ia harus menyentuh akar ketimpangan—redistribusi lahan, pengakuan wilayah adat, serta keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Politik agraria yang adil merupakan fondasi bagi stabilitas sosial dan pertumbuhan berkelanjutan. Tanpanya, Kalimantan Timur hanya akan menjadi panggung konflik berkepanjangan antara modal dan rakyat.
Kini, ketika mata dunia tertuju pada Borneo sebagai simbol masa depan Indonesia, saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan yang nyata. Sebab kemajuan sejati tidak diukur dari tingginya gedung atau besarnya investasi, melainkan dari seberapa adil tanah dibagi, dan seberapa sejahtera rakyat yang menginjaknya. (Tim Redaksi)
Oleh : Andhika Rama Zulya
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman









