Ideanews.co, OPINI – Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga kompas moral yang relevan dalam menghadapi tantangan zaman. Di tengah kompleksitas kehidupan global dan derasnya arus informasi digital, nilai-nilai Pancasila justru semakin penting untuk dikontekstualisasikan dalam kehidupan kekinian dan kedisinian.
Kekinian: Tantangan Era Digital dan Krisis Nilai
Dalam konteks kekinian, bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan baru: pergeseran nilai sosial akibat globalisasi, polarisasi akibat media sosial, hingga krisis identitas dalam generasi muda. Era digital membawa kemudahan komunikasi, namun juga menjadi ladang subur bagi hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi. Di sinilah aktualisasi Pancasila menjadi penting, terutama pada sila pertama dan ketiga: Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.
Pancasila bukan sekadar simbol atau hafalan, tetapi harus menjadi landasan dalam bersikap dan bertindak, terutama dalam ruang publik digital. Sikap inklusif, toleran, dan saling menghormati harus ditanamkan sejak dini dalam sistem pendidikan, diperkuat dalam kebijakan negara, dan diteladani oleh pemimpin di semua level.
Kedisinian: Konteks Lokal dan Realitas Sosial
Sementara dalam konteks kedisinian yakni konteks lokalitas dan realitas sosial masyarakat Indonesia yang majemuk Pancasila menjadi payung besar yang menyatukan keberagaman budaya, agama, dan etnis. Di Kalimantan Timur, misalnya, di mana masyarakat hidup dalam keberagaman suku seperti Kutai, Dayak, Bugis, Banjar, dan Jawa, semangat gotong royong (sila kelima) dan keadilan sosial bukan hanya slogan, tetapi hidup dalam praktik sehari-hari.
Namun demikian, tantangan tetap ada: ketimpangan pembangunan, potensi konflik sumber daya, dan isu-isu diskriminasi sosial. Oleh karena itu, Pancasila harus dihidupkan melalui kebijakan yang pro-rakyat, pembangunan yang inklusif, dan pemberdayaan komunitas lokal. Pancasila tidak boleh hanya hidup dalam pidato kenegaraan, tetapi harus terasa manfaatnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di kampung, di pasar, di sekolah, hingga di ruang-ruang digital.
Peran Pancasila dalam Menyikapi Dinamika Media Sosial
Media sosial saat ini telah menjadi ruang interaksi publik terbesar di Indonesia. Namun, di balik peluang yang ditawarkannya, media sosial juga membawa tantangan serius: penyebaran disinformasi, polarisasi politik, budaya saling membenci, serta kehilangan etika dalam berkomunikasi. Dalam konteks ini, Pancasila menjadi fondasi moral yang dapat menjadi penuntun bagi masyarakat digital.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menuntut kita untuk menjaga etika dan empati dalam menyampaikan pendapat, tidak merendahkan martabat sesama. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengingatkan bahwa perbedaan pendapat tidak boleh mengoyak persatuan bangsa. Sementara sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menjadi panduan agar diskusi di media sosial dilandasi kebijaksanaan, bukan emosi dan kebencian.
Pancasila juga menuntun peran negara dalam menyusun regulasi yang adil dan proporsional untuk mengawasi konten-konten media sosial yang merusak nilai-nilai kebangsaan, tanpa membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan. Dengan demikian, ruang digital bisa menjadi arena edukasi dan pemberdayaan, bukan pertikaian tanpa ujung.
Penutup: Pancasila sebagai Titik Temu
Dalam kekinian dan kedisinian, Pancasila harus menjadi titik temu antara masa lalu, masa kini, dan masa depan; antara ideologi dan realitas; antara pusat dan daerah. Kita membutuhkan interpretasi segar Pancasila yang tidak menghilangkan esensinya, tetapi mampu menjawab zaman.
Sebagai generasi muda dan bagian dari anak bangsa, kita punya tanggung jawab untuk menjaga, menghidupkan, dan mewariskan Pancasila dalam setiap napas kehidupan. Bukan hanya dengan kata, tetapi dengan tindakan nyata: jujur, adil, bersatu, dan menghargai perbedaan.
Pancasila bukan milik masa lalu. Ia adalah jawaban bagi masa depan Indonesia, termasuk dalam ruang digital tempat kita hari ini membentuk peradaban baru.
Opini ini ditulis oleh Gusti Prayogo Pangestu, Alumni PPKn Universitas Mulawarman – Humas Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur.