Pembiaran THM Ilegal di Berau Adalah Kebocoran PAD yang Disengaja

Ideanews.co, Berau – Kabupaten Berau tampaknya telah menemukan inovasi kebijakan paling visioner abad ini: mengelola Tempat Hiburan Malam (THM) hanya dengan izin keramaian. Luar biasa. Siapa butuh izin usaha hiburan, izin penjualan minuman beralkohol, atau transparansi pajak, jika selembar surat keramaian sudah dianggap cukup sakti untuk mengatur semuanya?

Mengapa repot membuat regulasi detail? Di Berau, cukup anggukkan kepala, stempel satu kali, dan dunia hiburan berjalan mulus tanpa menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jenius.

Read More

Sementara Kota Samarinda sibuk dengan angka 40% untuk meningkatkan PAD dengan monitoring transaksi digital, audit izin, dan pajak hiburan berbasis omset, Berau memilih pendekatan yang lebih elegan: senyap, tenang, dan bocor. Ada seni tersendiri dalam membiarkan pendapatan melarikan diri tanpa suara.

Razia pun digelar. Hasilnya? Tiga kursi, dua botol bir, satu teguran. Drama musiman yang layak ditonton. Esok malam, aktivitas kembali seperti biasa, seolah semua hanyalah gladi resik untuk pertunjukan berikutnya.

Dan jangan lupa, segala keributan malam, balapan liar, hingga botol pecah di jalan itu semua semestinya dianggap bagian dari “atraksi wisata lokal”. Gratis pula! Mengapa keluhkan?

Padahal, sebagai daerah wisata kelas dunia, Berau bisa meniru Samarinda: legalisasi, transparansi, pajak, penertiban. Tapi tentu itu terlalu mainstream. Berau memilih jalur avant-garde: membiarkan sektor ilegal tumbuh bebas seperti rumput liar di musim hujan.

Ketika potensi PAD menguap setiap malam, ada pihak yang dengan bijak berkata: “Ini bukan pembiaran. Ini… fleksibilitas.” Betul. Tidak semua daerah berani menghadapi konflik antara aturan dan kenyamanan.

Pertanyaannya, kenapa THM ilegal bisa bertahan bertahun-tahun?
Jawabannya jelas: daya tahan yang luar biasa. Seperti spesies evolusi Darwinian yang sudah beradaptasi sempurna terhadap lingkungan birokrasi.

Padahal uang pajak hiburan dapat dipakai untuk:

  • Promosi wisata,

  • Fasilitas publik,

  • Pendidikan,

  • Perbaikan kota,

  • UMKM.

Tapi tentu pilihan itu terlalu rasional.

Samarinda mengambil langkah tegas, sementara Berau menikmati keadaan. Seperti menonton api membakar daging: baunya ada, asapnya ada, tapi tak ada yang makan.

Dan ketika transfer pusat mulai irit, Berau hanya bisa mengeluh. Wajar. Daerah mana pun akan kerepotan ketika lebih sibuk menjaga kenyamanan ilegal daripada mendisiplinkan pendapatan.

Pada akhirnya, budaya pembiaran adalah kearifan lokal baru warisan yang terus tumbuh dari generasi pejabat ke generasi pejabat.

Tentu, kita menunggu satu terobosan lagi: izin parkir pun mungkin bisa dipakai untuk membuka rumah sakit. Siapa tahu.

Karena di Berau, regulasi hanyalah rekomendasi.
Dan pendapatan daerah hanyalah hiasan. (Tim Redaksi)

Related posts

banner 868x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *