Ramai Bendera Bajak Laut One Piece, Suwardi Sagama: Perlu Cermati Niat dan Aspek Hukumnya

Direktur Pusat Studi Demokrasi, Konstitusi, dan Masyarakat Fakultas Syariah (Fasya) UINSI Samarinda, Suwardi Sagama.

Ideanews.co, Samarinda – Fenomena unik tengah menarik perhatian publik. Belakangan ini, bendera bergambar tengkorak khas bajak laut dari anime Jepang One Piece mulai bermunculan di berbagai tempat, mulai dari tiang bendera hingga kendaraan pribadi.

Kondisi ini menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian mempertanyakan, apakah penggunaan simbol semacam itu bisa dikategorikan sebagai bentuk separatisme atau sekadar bagian dari tren budaya populer?

Read More

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pusat Studi Demokrasi, Konstitusi, dan Masyarakat Fakultas Syariah (Fasya) UINSI Samarinda, Suwardi Sagama, menegaskan pentingnya melihat persoalan ini secara cermat dari dua sudut: niat pemakai dan bentuk simbol yang digunakan.

“Yang perlu dikaji adalah apakah simbol tersebut menyerupai lambang negara, memiliki elemen Bendera Merah Putih, atau berkaitan dengan simbol organisasi terlarang atau separatis,” jelas Suwardi saat diwawancarai media, Jumat (1/8/2025).

Jika tidak ada keterkaitan dengan unsur-unsur tersebut, lanjutnya, maka penggunaan bendera bergambar tengkorak lebih cenderung merupakan ekspresi sosial atau budaya semata.

Ia juga menambahkan, sejauh ini tidak ada indikasi bahwa penggunaan bendera bajak laut tersebut terkait dengan gerakan separatis atau dimaksudkan untuk merendahkan simbol negara. Namun demikian, ia tetap mengimbau masyarakat untuk tidak sembarangan menggunakan simbol-simbol tertentu di ruang publik.

Mengacu pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, setiap orang dilarang melakukan tindakan yang dapat merusak atau menghina kehormatan bendera negara, seperti merobek, membakar, atau menginjaknya.

“Selama tidak ada unsur merendahkan lambang negara, maka tidak serta-merta dianggap pelanggaran hukum,” tegas Suwardi.

Ia juga mengingatkan soal Pasal 59 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang melarang penggunaan nama, simbol, atau atribut yang menyerupai milik organisasi terlarang atau kelompok separatis.

“Kalau pun ada kesamaan gambar, tapi tidak ada niat politis atau kesamaan pokok dengan organisasi terlarang, maka konteksnya masih bisa dipahami sebagai bagian dari budaya pop,” jelasnya.

Suwardi pun berpesan kepada masyarakat, terutama generasi muda, agar lebih bijak dalam mengekspresikan kecintaan terhadap budaya populer.

“Silakan berekspresi, tapi tetap pahami batas-batas yang diatur dalam hukum. Jangan sampai hanya karena mengikuti tren, malah tersandung persoalan hukum yang sebenarnya bisa dihindari,” pungkasnya. (Tim Redaksi)

Related posts

banner 868x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *